Katanya sih katanya….(sebuah cerita horor singkat)

LL Hotel, sebelum Juli 2009 (nama penginapan sengaja tidak disebutkan demi menjaga nama baik.)

Ini bukan kisahku. Ini adalah pengalaman seniorku, yang diriwayatkan ke kawannya, lalu ke temannya lagi, lalu ke sohibnya, kemudian ke diriku.

Seniorku, tokoh utama dalam kisah singkat ini, sedang mandi suatu malam. Dinginnya udara Jawa Barat kontras dengan hangatnya air yang mengalir melalui pancuran. Seusai membersihkan diri, kakak kelasku mematikan shower, lalu mengeringkan tubuh di depan kaca yang berembun.

Tak lama, di atas cermin, timbullah huruf-huruf, seakan ada seseorang yang menuliskannya.

T

O

L

O

N

G

Satu per satu aksara, muncul perlahan-lahan di kaca.

Dan jelas, bukan seniorku yang menuliskannya. Dan selain dirinya, tak seorangpun nampak di kamar mandi.

Sontak, seniorku membungkus tubuhnya dengan handuk, kemudian bergegas menuju kawannya di kamar sebelah. Ia menceritakan huruf-huruf TOLONG yang timbul pelan-pelan. Kawannya tak percaya.

 

Namun, kisah singkat ini menjadi sebuah legenda di antara kami. Entah siapa orang yang minta tolong kala itu, dan entah apakah saat ini, dia sudah tertolong.

 

 

-preview Curug-

I have to get this thing completed, translated, and published….

Sebuah restoran di Bogor, Maret 2016

Setelah merasakan kebut-kebutan di jalanan kota Bogor, kini tiba saatnya bagi para pelancong dari Jakarta untuk mengisi perut yang lapar. Taman kecil dengan pepohonan yang rimbun serta sungai yang mengalir di bawahnya siap meyambut lima sekawan yang keroncongan: aku, Nat, Mia, Terrence, dan Alan.

Setelah menunggu sejenak, beragam macam panganan tersaji di meja. Ditemani semiir angin, kami berlima asyik menyantap cumi, kangkung, ayam goreng, ikan bakar, dan makanan lainnya. Tentu saja diiringi obrolan-obrolan ringan dan gelak tawa yang cetar membahana.

„Eh, ada yang sudah pernah nyobain balut, belum?“ tanya Terrence

Nat menggeleng. Aku tersedak, karena tahu balut itu makanan apa. Buluku merinding, membayangkan orang yang memakannya.

„Emang balut itu apa?“ tanya Nat balik.

„Itu, Ci, makanan khas filipina“, jawab Mia.

„Ayam utuh“, ujarku.

„Ayam utuh?“

„Iya, ayam utuh yang belum menetas, direbus, terus dimakan bulat-bulat!“ Mia memaparkan makanan itu.  Nat bergidik. Aku tutup telinga. Well, mungkin sebetulnya rasanya sama dengan hidangan ayam biasa….namun bayangan untuk menelan seekor hewan utuh tanpa dipotong sudah membuat selera makanku berkurang!

Syahdan, percakapan tentang kuliner ekstrem pun berlanjut. Dan kami tidak membicarakan isi perut, paru-paru, lambung, jantung, atau otak hewan,  yang bagi orang Asia sudah menjadi menu lumrah. Ulasan kami : lipas, belalang, hingga kalajengking goreng!

„Kalo kata orang Melayu, kami orang Tionghoa Malaysia itu jorok! Apa saja dimakan!“ tukas Alan, sambil dengan santainya mencomot paha ayam goreng.

Pancen nggilani sampeyan„, ujarku.

Papa kamu…….

If you know me personally and if we had a chit-chat before, I’ve told this story to you. 

And this is not about me. 

Ini kisah tentang seorang kawanku, non WNI. Sebut saja namanya Benitez.  Ketika mengikuti kelas Tahap Persiapan di Kota Kipas, Benitez berteman akrab dengan kawan-kawan sekelasnya dari Indonesia.

Hebatnya, si Benitez ini sangat tertarik dengan Bahasa Indonesia. Setiap kali bertegur sapa di jalan, ia menyapa, „Apa kabar?“

Berikut salah satu contoh obrolan kami:

Benitez : Apa kabar?

Aku : Baik…

B : Kok mata kamu merah sih? Nggak tidur? –yep, he literally said that, not the rigid, ‚formal‘ Indonesian taught to the foreigners. Kudos to his Indonesian friends, you’ve been great teachers!

A : Iya…habis ngerjain tugas akhir….

B : Oh, tugas akhir? Berarti kamu mau lulus dong?

-gak, gue mau kawin!

A : Iya bener….

B : Kamu kok ke kantin? Laper?

A : Iya, laper plus ngantuk….

*setelah membeli makanan….

Benitez : *menunjuk pretzel* Aku beli roti nih.

A : Oh, roti. Kirain karedok.  Enak nggak?

B : Iya, enak. Aku udah nggak laper lagi.

A : Bagus…asal jangan baper aja.

B : Baper? Apa itu Baper? Aku taunya ‚galau‘.

A : hmm…mirip-mirip lah.

Di lain kesempatan, aku bertemu kawanku penggiat BIPA ini di kantin. Telinganya disumpal earphone, kudengar ia menggumam.

Kurasa ku t’lah jatuh cinta, pada pandangan yang pertama……

Very nice. Untung dia tidak bersenandung „Sambala sambala sambalado“

Setelah itu dia diam.

„Kata-kata di bait berikutnya susah!“ ujarnya.

Dan aku memberikannya lagu Dekat Di Hati.

Dan suatu ketika, lagi-lagi di kantin, ketika diriku sedang menikmati makanan, tiba-tiba dia berkata….

„Papa kamu guru ya?“

Hebat betul kawan-kawan sebangsaku, sampai dia bisa belajar ngegombal begitu!

Aku : *dengan nada suara gemulai* Kok kamu tahu siiih?

B : Soalnya kamu tidak pernah salah!

Ah, nampaknya kalau mahasiswa ini ke Jakarta, pasti sudah jadi playboy kelas wahid 😀 😀 😀

 

Jackfruit Waterfall (1)

Friday, March 18th, 2016

Nat and I will go to the waterfall tomorrow.

I read the message on my cellphone. It’s from Mia, one of my friends I knew before I left to the Fan City. I contacted her for catching up, since I have completed my major and flew back to Indonesia.

And waterfall sounded very nice. Besides, I had nothing else to do for the weekend at home. I moved my fingers across the screen, replying her message.

Can I come along?

Saturday, March 19th, 2016, 9 am

I sipped my morning coffee, observing the cars and motorcycles scattered all over the road. My head was filled with excitement, knowing that in a few minutes,  I will enjoy the nature with attractive and nice friends. Some time later, a convertible passed across me and stopped. The window was lowered and I saw two familiar faces in the front seat.

It’s Mia and Nat. The two ladies I had great time with, and whom I shared some of my secrets with. They waved and I waved back.

I hopped to the rear seat and saw two guys, looking very sporty, prepared for outdoor activities. They were friends of Nat. After I greet the two girls I’ve known for years, I shook the hands of the two guys I’ve just seen firmly.

Nat closed the window and stepped on the pedal. The avanza got back to maneuver throughout the crowded streets and highway of Jakarta. Apparently, the pair of ladies has arranged our destination. The first spot we were going to visit was a national park at Gunung Pancar, an area located between Jakarta and West Java. Using Waze, Mia acted as a navigator while Nat at her full throttle behind the wheel.

An hour and lots of chit-chats and laughter later, we arrived at the national park. Dozens of trees stood there erect, welcoming the two gorgeous ladies and their three musketeers. Nat parked our car and we walked upwards the steep pathway of the park. People riding bicycle and the robust and green trees were the scenery we encountered during the hike.  A few moments later, we landed in an area with downhill track and lots of trees. We went down, holding each other’s hands, and took pictures as well. The view at the nature reservation was indeed a nice memory to be captured. Dozens of pictures in our phones trapped the gorgeous landscape : clear, bright sky, accompanied with brown soil untouched by garbages and trees gallantly standing as the divine-made pillars. It will be nicer if I had a lover to….*oops, jones curcol!

*clears throat*

Beg pardon, I’m kinda lost of thought.

Collecting enough photos and wefies, we went back into our car, heading to our next stop: the hot spring. The artificial pool was located inside a village, and we got to pay before we could enjoy its warmth. This time, the two sirens chose not to splash into the spring. They opted to relax their bodies in an open air lounge constructed from bamboo-called balé-balé- behind the pool. Meanwhile, the trio of boys dipped themselves into the hot water. The pair of guys managed to dive their entire body into the pool, meanwhile I could only soak my feet. Cupu!

After the bath, Nat’s friends looked like some boiled crab. They appeared reddish.

Thus, we proceed our journey to the waterfall in Bogor. Nat stepped on the accelerator and turned the steering wheel. Shortly, I saw that the license numbers of the cars around us began no more B, but F. More mini-sized bus called angkot, which is common in West Java, were observable down the road. We officially entered Bogor.

Meanwhile, Nat continued her maneuver with her Avanza. Had she worn a helmet and red suit, she would be a splitting image of Michael Schumacher. Our car moved with full speed, going along the fellow vehicles, angkots, and fried tofu vendors.

„Jie“, told Mia, addressing Nat. Our driver was the eldest of all, thus Mia used the Chinese term for eldest sister. „This is not our town. Mind your speed“, our elegant navigator continues her talk.

„Just take it easy, Siri“, Nat answered.

„Well, if we hit somebody, people will run amok and we will be beaten to pulp!“ said Mia, triggering laughter from the guys at the rear seat.

The lady luck was on our side, so we arrived at our next stop safely. This time, we filled our empty tummy in an open-air restaurant.

*to be continued*

Geram aku geram, pada semut hitam

Yea, aku iseng-iseng membuka blog seorang kakak angkatan. Ia bercerita tentang perjalanannya di Tanah Kesempatan, dan tentang serangga yang ditemuinya, dari cicak hingga semut.

Semut. Binatang yang membuatku memainkan suatu momen dalam kepalaku.

Agustus 2013, Kosan BaRel UI Depok

Malam yang sepi, tak ada penghuni selain jangkrik. Ayah, adikku, dan aku mengepak barang-barang kami keluar dari mobil, memasuki sebuah rumah yang agak besar, dengan kamar berjajar-jajar di tepi dindingnya.

Aku menepuki lenganku karena invasi nyamuk-nyamuk penghisap darah. Serangga kecil yang tak ada habis-habisnya ini terus melancarkan Luftangriff-serangan udara-ke kulitku yang tak dilapisi lotion. Herannya, Ayah dan adikku tak merasa terganggu oleh vampir cilik ini. Apakah nyamuk lebih suka darah pemuda yang selalu merasa gagah, tak pernah mau mengalah??

Setelah memasuki beranda dan menutup pintu, barulah nyamuk-nyamuk tadi lenyap.

Tak ada seorangpun yang menyambut kami. Bapak dan Ibu kos sudah tidur, mahasiswi-mahasiswi juga sudah kembali ke peraduan mereka masing-masing.
Kami menggotong bawaan kami : koper kecil serta beberapa ransel, juga merangkap satu dua kantong plastik dan dua box pizza untuk makan dini hari. Kami menaiki tangga (untungnya hanya satu tingkat, tak seperti kosanku di Gang D no 8 yang lima lantai tanpa lift), kemudian tiba di sebuah kamar : kosan adikku. Kami memang sengaja mengantarnya dari Jakarta hari Minggu malam untuk berkuliah keesokan harinya.

Adikku membuka pintu, lalu kami masuk dan meletakkan barang-barang. Setelah berberes, kulahap pizza hangat yang baru kami pesan di drive-thru, namun tak sampai habis. Sisa pizza kuletakkan di atas kulkas untuk disantap esok hari. Aku tak mau makan pizza keras karena disimpan di dalam kulkas!

Karena hari sudah terlalu larut untuk pulang, Ayah dan aku menumpang tidur di kost adikku. Toh, aku akan pergi ke perpustakaan keesokan harinya demi belajar untuk UAS, sementara Ayah berangkat ke kantor di Jakarta.

Keesokan harinya, kosan BaRel, 18:30

Hanya aku dan adikku yang berada di kamar kost. Adikku sibuk dengan bahan kuliahnya, membuka binder dan kertas-kertas yang bertebaran di sana sini, sementara aku menyandarkan tubuhku ke dinding, mengistirahatkan kepala yang penat karena belajar seharian.

Tak lama, aku melihat sesuatu yang mencurigakan di lantai. Seperti ada sesuatu yang bergerak.

Kubungkukkan tubuhku, mengamati benda bergerak itu lebih dekat.

Semut! Sekoloni semut berbaris-baris dari pintu kamar, lalu menelusuri lantai, kemudian melanjutkan long march mereka hingga memanjat kulkas.

Kami langsung bangkit dan menyemprotkan spray serangga ke rombongan hewan tak tahu adat itu. Aroma jeruk asal obat serangga itu menyeruak, memenuhi seisi kamar.

Namun percuma, beberapa menit berselang, skuadron baru semut kembali menerobos pintu kamar, kemudian ke atas kulkas.

Aku curiga, sebenarnya apa yang menarik perhatian serangga-serangga ini?

Aku terdiam sejenak, kemudian berjalan ke kulkas. Sekarton pizza masih tergeletak di situ. Dan benar saja, pizza  yang hendak kumakan hari itu sudah dikerubuti semut! Mereka bergerak lincah di sekeliling roti dan beragam topping, mungkin sedang asyik ngobrol tentang politik sembari berbagi bersama di pizza….*ups, aku nyaris beriklan!

Karena aku tak mau pizza dengan topping semut, langsung kubuang saja makanan itu ke tong sampah, beserta hewan-hewan ra duwe toto yang menikmati hidangan italia itu.

Saat di Kota Kipas, memang aku biasa meletakkan makanan sisa di sembarang tempat untuk kumakan keesokan harinya. Namun di Depok, di mana serangga macam cicak, tokek, nyamuk, dan semut merajalela karena udara yang lebih nyaman untuk mereka dibanding di Kota Kipas, aku tak bisa berbuat begitu. Makanan nganggur pasti cepat mereka santap!

Well, lain ladang lain belalang.

 

 

Tembang Seorang Stalker Jones

Di wajahmu kulihat bulan
bersembunyi disudut kerlingan

bulan kan banyak kawahnya….jadi mukanya bopengan dong???
Sadarkah tuan kau ditatap insan
yang haus akan belaian

ebuset, udah jones (haus belaian), stalker pula!!
Di wajahmu kulihat bulan
menerangi hati gelap rawan

Emang mukanya lampu petromak, bisa menerangi??
Biarlah daku mencari naungan
di wajah damai rupawan

Cewe : Emang muke gue payung, jadi tempat bernaung??
Ref :
Serasa tiada jauh, kau mudah dicapai tangan
Ingin hati menjangkau, kiranya tinggi di awan

uhmm…kalo ingin mencapai bulan, nih, formulirnya NASA http://astronauts.nasa.gov/content/application.htm
Di wajahmu kulihat bulan
yang mengintai dibalik senyuman
Jangan biarkan ku tiada berkawan
hamba menantikan tuan

Emang derita lu kali, jones!!!!

DISCLAIMER
Post ini dibikin buat lucu-lucuan aja, bukan menghina lagu Di Wajahmu Kulihat Bulan-nya Mochtar Embut. I love listening to old songs, and my point in this post is that some of their lyrics are so poetic they were considered as “cheesy‘, ‚too over‘, or even ‚creepy‘ nowadays. Language changes over time.

Hati senang walaupun tak punya uang, wo-oh

Belum pernah jadi anak kos pas tanggal tua ya, mas??

 

 

Apa yang kurasakan dalam sebuah lagu

Kawan, beberapa hari ini ada sebuah lagu yang terus diputar oleh kotak musik di kepalaku. Aku tak ingat sebagian besar liriknya, kecuali baris terakhir tembang itu.

„Dan aku merusakkan segalanya dengan mengatakan hal bodoh seperti…..“

Ya, mungkin pengakuan bodohku membuat dirinya tak mau bicara denganku lagi. Mungkin kata-kata cinta yang kuucapkan merusakkan persahabatanku dan dia.

Ah, nasi telah jadi bubur. Lebih baik aku mendoakan mereka berdua, cewe yang pernah kugebet dulu dan suaminya, agar menjadi keluarga yang saling meneduhkan, mengasihi, dan menyayangi satu sama lain.

Seorang kawan boleh berharap, kan?

The Envelope and Silverthorn

Cengkareng, Januari 2016

Ke Jakarta aku kan kembali, kata Koes Plus.

Siang itu, terminal 1 Bandara Soetta ramai sebagaimana biasanya. Orang-orang berlalu lalang, porter-porter tergopoh-gopoh menyeret barang, resto dan kafe-kafe sibuk membuat perut kenyang, pengumuman dari speaker meraung kencang-kencang, mengumandangkan nama pesawat yang akan terbang.

Kugeret koper miniku yang berisi oleh-oleh, bungkusan dari Nenek. Di pelataran bandara yang penuh dengan penjemput, kulihat Om Dhar, driver keluarga kami, menyambut. Setelah menyapa beliau, aku naik ke mobil, melipir menuju rumah di Kebon Kacang.

Kupandang sekeliling, gedung-gedung pencakar langit berdiri kokoh tiada bergeming.  Selepas bersilaturahmi dengan Atuk, Nenek, Om, Tante, serta saudara sepupu di Pekanbaru, kini saatnya kembali ke ibukota dan melanjutkan liburanku.

Namun sesaat, ada yang mengganjal di pinggangku. Sesuatu yang menggembung.

Kuputar tubuhku sedikit.

Oh, ternyata dompet yang penuh dengan isi amplop yang diberikan Om, Tante, serta Nenek.

Aku tertegun.

Umurku 24…dan masih menerima amplop?

Aku tersenyum getir. Umur segini harusnya aku telah bekerja, seharusnya aku telah berdiri di atas kakiku sendiri, seharusnya aku telah wisuda….seharusnya….seharusnya…seharusnya…..

Di tengah rentetan pikiran burukku, aku teringat. Ada satu amplop lagi yang belum terbuka.

Dari Atuk.

Dan aku tergetar. Tergetar menerima luapan kasih sayang dari keluarga yang tak ada gantinya. Amplop sebagai perlambang rejeki yang dibagi, sebagai simbol eratnya ikatan di antara kita, sebagai doa agar kami semua murah rejeki, selalu bahagia, makmur, dan sukses selalu di dunia dan akhir masa.

Aku harus memutar isi amplop ini…..aku bertekad untuk membelanjakannya demi kebaikanku.

Tapi bagaimana?

Gramedia Matraman, sehari kemudian

Kubuka-buka buku amat tebal yang baru saja berpindah tangan dari toko ke diriku. Aku telah memutuskan untuk membeli Silverthorn, sebuah buku babon fisiologi, dari limpahan rezeki yang kuterima.

Aku berniat untuk menjadikan buku itu sebagai rujukan, kalau-kalau nanti aku bekerja di Indonesia setelah lulus….atau sebagai refreshing materi yang kudapat.

Dan seiring dengan gerakan mataku yang memindai halaman demi halaman, aku mengukuhkan azam.

Tahun ini, aku bertekad untuk mandiri secara finansial! Entah dapat beasiswa, atau bekerja. Mungkin nanti, aku yang akan memberikan amplopnya 🙂

 

 

Ada Apa Dengan Aku?

Lapangan Voli Aliansi Kultur dan Komunikasi, Januari 2016

Tengah hari tetap dingin kendati matahari bercahaya dengan jumawa. Mahasiswa dan mahasiswi yang terbagi dalam dua tim asyik melompat-lompat dan memukul mesra bola voli, bersaing memasukkan poin. Sementara, si bola yang malang harus merelakan nasibnya dihajar-hajar ke sana kemari melewati net, kemudian terjatuh ke tanah, dipukul lagi, mondar-mandir lewat jaring lagi, jatuh lagi.

Pemandangan tersebut kusaksikan dan kunikmati dari pinggir lapangan sembari menyeruput kopi. Sesekali, ketika si bola terbang ke arahku, aku refleks memundurkan tubuhku atau mengangkat lengan ke depan wajahku.

„Kamu takut sama bola?“ tanya Kimberly yang duduk di sampingku, tersenyum.

„N-nggak“, jawabku tergugup. „Cuma takut aja si bola kena anu-ku“, ujarku berkilah.

„Ya udah, duduknya jangan ngangkang“, ujar si mahasiswi. „Kaya aku nih“.

Kedua pahanya terkatup.

„Masa cowo duduknya begitu?“ tanyaku, retoris. Kemudian kami diam lagi, kembali menyaksikan permainan bola voli yang rutin diadakan saban jumat itu.

Beberapa saat kemudian, Kimberly bertanya padaku, „Jadi, kamu di Kota Kipas sampai kapan?“

Aku memang berencana tidak tinggal lama di Kota Kipas kali ini. Niatnya, aku hanya akan merevisi skripsi (untuk yang terakhir kalinya!), mengurus ijazah, serta mengikuti ujian Bahasa Inggris untuk persiapan S2.  Kemudian, aku akan kembali ke Jakarta untuk beberapa bulan demi mengikuti seleksi beasiswa pascasarjana.

„Well,“ jawabku. „Aku akan kembali ke Jakarta dalam satu purnama“, kataku, menirukan seorang pemuda penyuka Chairil Anwar saat ia harus bertolak ke Amerika dan meninggalkan Cinta-nya.

(btw, aku dan aktor pemeran pemuda itu  satu almamater SMA, namun terpisah dalam satu dasawarsa 🙂 ) -ga penting.

„Satu purnama?“ tanya Kimberly.

„Ya, satu purnama“, jawabku, kemudian terdiam. Mahasiswi ikal itu juga terdiam.

„Memangnya kamu werewolf?“

Aduh!! Niatnya mau meniru si Rangga, malah disangka Ganteng-Ganteng Serigala!!

Anyway, aku berniat untuk segera merampungkan perbaikan skripsiku. Aku tak mau kembali setelah terlalu lama berada di sini dan menjadi Rangga di iklan Line.

Jadi beda, satu purnama di Kota Kipas dengan di Jakarta?“